Selasa, 01 Maret 2016

Abu Nawas – Lukisan Diri Tiruan

Abu Nawas – Lukisan Diri Tiruan

           
       Tak dinanya, selain cerdik dan jenaka, Abunawas ternyata berbakat menulis juga. Setelah berbulan-bulan belajar dari seorang pelukis terkenal, Abunawas benar-benar pandai melukis. Kemampuannya kini hampir setara dengan gurunya. Guru lukisnya sampai geleng-geleng kepala melihat kehebatan Abunawas.

            Suatu hari, Abunawas disuruh guru lukisnya mengambil kanfas, di rumah seorang kerabatnya, Wan Hamid namanya. Karena datang agak kemalaman, Abunawas disuruh menginap di rumah Wan Hamid. “Sudahlah pulang besok saja. Apalagi cuaca mendung begini, aku khawatir kau kehujanan,” bujuk Wan Hamid kepada Abunawas. Karena dipaksa, abunawas akhirnya menurut. Dia tidur di rumah Wan Hamid. Tapi sebenarnya Wan Hamd punya tujuan lain. Dia ingin menguji kehebatan Abunawas. Wan Hamid mendengar kalau Abunawassudah mahir melukis. Maka dari itu dia ingin tahu, apakah Abunawas bisa membedakan lukisan atau tidak.


            Ketika malam telah larut, Wan Hamid mengetuk kamar Abunawas. Dengan enggan Abunawas membuka pintu. “Maaf Abunawas, aku mengganggu tidurmu,: ujar Wan Hamid pura-pura menyesal. “Aku hendak menaruh ini di kamarmu. Ambil saja jika kau suka,” tambah Wan Hamid seraya menaruh sekeranjang buah-buahan yang terbuat dari kayu. Buah-buahan dari kayu itu persis seperti aslinya. Bentuk dan pengecatannya nyaris sempurna.

            Sepeninggalan Wan Hamid, Abunawas mendekati keranjang buah. Perut yang lapar dan mata yang mengantuk membuatnya tidak bisa membedakan, kalau buah-buahan tersebut sebenarnya imitasi. Dengan agak tergesa-gesa, Abunawas memungut sepotong apel dan menggigitnya. Bunyi gemeletak terjadi. Buah apel jatuh dan menggelinding di lantai. Wan Hamid mengintip dari balik pintu, terdengar tertawa cekikian. Abunawas merasa malu setengah mati. Dia keluar kamar dan menegur Wan Hamid.

            “Wan Hamid, kenapa kau menipuku? Mengapa kau taruh buah-buahan palsu di kamarku?” sanggah Abunawas geram. “Siapa yang menipumu?” jawab Wan Hamid tak mau disalahkan. “Apakah aku mengatakan kalau buah-buahan itu asli? Tidak kan?” Abunawas tidak berkutik mendengar jawaban Wan Hamid. Kerabat guru lukisnya itu memang tidak pernah mengatakan, kalau buah-buahan itu asli. Ketergesaan Abunawaslah yang membuat dia merasa dipermalukan.

            Pagi telah menjelang. Abuawas tetap berada di dalam kamar. Wan Hamid merasa penasaran. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah Abunawas gondok sehingga tidak mau keluar kamar? Wan Hamid mengetuk pintu. Dia mencoba membangunkan Abunawas. “Abunawas, sudah siang, apakah kau tidak mau pulang?” seru Wan Hamid dari luar kamar. Abunawas tidak menjawab. Wan Hamid semakin gundah. Perlahan-lahan dia membuka pintu kamar Abunawas. Begitu pintu kamar terbuka, Wan Hamid menjerit sekeras-kerasnya. Abunawas kedapatan gantung diri di pintu almari!

            Dengan berteriak seperti orang kesurupan, Wan Hamid memanggil orang-orang di sekitarnya. “Abunawas gantung diri! Abunawas gantung diri! Sungguh bukan aku yang membunuhnya”. Dalam sekejap puluhan orang sudah berkumpul di rumah Wan Hamid. Mereka bersama-sama hendak menyaksikan kejadian yang sebenarnya. Ketika beberapa orang masuk ke dalam kamar, pemandangan yang sangat mengerikan terjadi. Abunawas kelihatan tergantung di almari dengan mata melotot dan lidah menjulur.

            Belum lagi hilang ketakjuban orang-orang, Abunawas tiba-tiba muncul dari balik almari. Sebagian orang terpekik kaget, dan sebagian orang bernafas lega. “Ah Abunawas... kau ini bikin ribut orang-orang saja,” kata salah seorang yang berkumpul di situ. “Kukira yang tergantung disitu benar-benar dirimu. Ternyata itu hanya lukisan saja,” lanjutnya lagi.


“Ini cuma guyonan kok!” jawab Abunawas enteng. “Tadi malam, Wan Hamid mencoba mempermalukan aku. Sekarang gantian aku yang mencoba mempermalukan Wan Hamid. Cuma bedanya kalau kemarin hanya dia yang tahu, sekarang banyak orang yang tahu, kalau dia sebenarnya bodoh dan mudah dikelabuhi. Mendengar uraian Abunawas, muka Wan Hamid berubah menjadi merah padam menahan malu.


_____________
Sumber :
Majalah Mentari edisi 308
1-7 Januari 2006 Hal 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Page