Tuanmu Adalah Budakku
Seorang Sultan tengah berparade di jalan utama Istambul.
Ia dikelilingi pengawal dan tentara lengkap. Semua penduduk keluar untuk
melihat sultan. Mereka memberi hormat saat sang sultan lewat. Kecuali seorang
darwis yang sangat sederhana. Sultan menghentikan parade dan menyuruh tentara
menangkap darwis itu, untuk mendapatkan penjelasan.
“Hai
makluk dekil, mengapa engkau tidak menghormat kepadaku?” kata sultan. “Tuanku,
biarlah semua orang menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan apa yang ada
padamu: harta, kedudukan dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal itu tak
berarti padaku. Lagipula untuk apa aku hormat kepadamu apabila aku punya dua
dua budak yang adalah tuanmu”.
Semua
orang di sekeliling terkejut. Wajah sultan juga merah padam karena marah. “Apa
maksudmu?” kata sultan. “Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan
ketamakan,” ujar si darwis tenang. Sultan yang pada dasarnya juga bijak, segera
menyadari kebenaran ucapan sang darwis, lalu ia balik menghormat kepada orang
yang sempat membuatnya marah tersebut. Tentu saja, orang-orang yang melihat
peristiwa itu menjadi kagum kepada si darwis
----000OOO000----
Salah
satu ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah, sebagai hamba Allah
SWT, mestinya penghambaan kita hanya kepada Allah, bukan kepada hawa nafsu. Nafsu
amarah dan gila hormat misalnya. Mungkin tidak sedikit di antara kita yang
merasa kuat, dan oleh karena itu menjadi bangga, bila bisa meluapkan amarah
kepada orang lain.
Itu
adalah sesuatu yang keliru. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “bukanlah
kuat itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah
orang yang bisa menguasai dirinya tatkala marah,” (HR Bukhari Muslim dan Imam
Ahmad). Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya, “tetapi orang yang
bersabar dan memaafkan, sesungguhnya hal demikian itu termasuk hal-hal yang
diutamakan” (QS Asy Syura’ : 43)
Masih
banyak hadis ataupun ayat Al Qur’an yang menunjukkan kemuliaan menahan amarah. Pada
umumnya amarah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji. Misalnya amarah
karena ajaran-ajaran Allah dihina.
Gila
Hormat
Tuhan
menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan kemahaadilan-Nya. Misalnya, ada
orang kaya ada pula orang miskin. Ada penguasa, raja, ada pula rakyat. Kalau semua
orang menjadi orang kaya, yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, lalu siapa
yang akan menjadi pembantu rumah tangga, yang akan mengerjakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan keperluan di rumah? Kalau semua menjadi raja, yang
selalu sibuk memikirkan bagaimana kemajuan kerajaan, lalu siapa yang menjadi
rakyat yang melaksanakan kebijakan raja?
Oleh
karena itu, orang kaya, penguasa, raja yang memahami betul keadilan tuhan,
tidak akan berani sedikitpun bersikap sombong dan gila hormat, apabila
mewujudkannya dalam kata-kata dan tindakan. Misalnya sebagaimana kisah di atas.
Raja mengatakan “Hei makhluk dekil, mengapa engkau tidak menghormat kepadaku?”
Bagaimanapun
tingginya kedudukan seseorang, dalam kisah raja di atas misalnya, tetaplah ia
hanya makhluk, yang penuh dengan kelemahan. Maka sungguh tidak selayaknya bila
ia menjadi sombong dan gla hormat karena kedudukannya. Apalagi bila
penghormatan yang dilakukan karena terpaksa atau karena tujuan negatif lainnya.
Bahkan penghormatan dan ketaatan tidak boleh dilakukan jika terkait dengan
perintah untuk melanggar ajaran agama.
Ada
sebuah kisah, konon seorang raja mengumpulkan seluruh kiai yang ada di
kerajaannya. Sang raja memerintahkan mereka untuk menikmati hidangan yang telah
disediakan, padahal waktu itu adalah bulan puasa. Titah raja adalah segalanya. Seluruh
perintah raja harus dituruti, kalau tidak, mereka bakal terkena hukuman. Namun ada
seorang kiai yang menolak untuk makan.
Sang
rajapun murka, ia bertanya kepada sang kiai “kenapa kau tidak mau makan
hidangan yang telah disediakan. Apakah kamu tidak takut akan hukumanku?”. Dijawab
oleh sang kiai “Aku hanya takut kepada Allah”. Raja pun tertegun mendengar
jawaban tersebut. Akhirnya ia sadar akan kesalahannya, bahkan kemudian
mengangkat sang kiai menjadi guru para kiai di kerajaan. (Tim alKisah*AP)
___________________
Sumber :
Majalah alKisah No. 19
16-29 September 2013
Hal 152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar