Rabu, 02 Maret 2016

Tuanmu Adalah Budakku

Tuanmu Adalah Budakku

            Seorang Sultan tengah berparade di jalan utama Istambul. Ia dikelilingi pengawal dan tentara lengkap. Semua penduduk keluar untuk melihat sultan. Mereka memberi hormat saat sang sultan lewat. Kecuali seorang darwis yang sangat sederhana. Sultan menghentikan parade dan menyuruh tentara menangkap darwis itu, untuk mendapatkan penjelasan.
           
            “Hai makluk dekil, mengapa engkau tidak menghormat kepadaku?” kata sultan. “Tuanku, biarlah semua orang menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan apa yang ada padamu: harta, kedudukan dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal itu tak berarti padaku. Lagipula untuk apa aku hormat kepadamu apabila aku punya dua dua budak yang adalah tuanmu”.


            Semua orang di sekeliling terkejut. Wajah sultan juga merah padam karena marah. “Apa maksudmu?” kata sultan. “Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan,” ujar si darwis tenang. Sultan yang pada dasarnya juga bijak, segera menyadari kebenaran ucapan sang darwis, lalu ia balik menghormat kepada orang yang sempat membuatnya marah tersebut. Tentu saja, orang-orang yang melihat peristiwa itu menjadi kagum kepada si darwis

----000OOO000----

            Salah satu ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah, sebagai hamba Allah SWT, mestinya penghambaan kita hanya kepada Allah, bukan kepada hawa nafsu. Nafsu amarah dan gila hormat misalnya. Mungkin tidak sedikit di antara kita yang merasa kuat, dan oleh karena itu menjadi bangga, bila bisa meluapkan amarah kepada orang lain.

            Itu adalah sesuatu yang keliru. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “bukanlah kuat itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang yang bisa menguasai dirinya tatkala marah,” (HR Bukhari Muslim dan Imam Ahmad). Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya, “tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya hal demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (QS Asy Syura’ : 43)

            Masih banyak hadis ataupun ayat Al Qur’an yang menunjukkan kemuliaan menahan amarah. Pada umumnya amarah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji. Misalnya amarah karena ajaran-ajaran Allah dihina.

Gila Hormat

            Tuhan menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan kemahaadilan-Nya. Misalnya, ada orang kaya ada pula orang miskin. Ada penguasa, raja, ada pula rakyat. Kalau semua orang menjadi orang kaya, yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, lalu siapa yang akan menjadi pembantu rumah tangga, yang akan mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan di rumah? Kalau semua menjadi raja, yang selalu sibuk memikirkan bagaimana kemajuan kerajaan, lalu siapa yang menjadi rakyat yang melaksanakan kebijakan raja?

            Oleh karena itu, orang kaya, penguasa, raja yang memahami betul keadilan tuhan, tidak akan berani sedikitpun bersikap sombong dan gila hormat, apabila mewujudkannya dalam kata-kata dan tindakan. Misalnya sebagaimana kisah di atas. Raja mengatakan “Hei makhluk dekil, mengapa engkau tidak menghormat kepadaku?”

            Bagaimanapun tingginya kedudukan seseorang, dalam kisah raja di atas misalnya, tetaplah ia hanya makhluk, yang penuh dengan kelemahan. Maka sungguh tidak selayaknya bila ia menjadi sombong dan gla hormat karena kedudukannya. Apalagi bila penghormatan yang dilakukan karena terpaksa atau karena tujuan negatif lainnya. Bahkan penghormatan dan ketaatan tidak boleh dilakukan jika terkait dengan perintah untuk melanggar ajaran agama.

            Ada sebuah kisah, konon seorang raja mengumpulkan seluruh kiai yang ada di kerajaannya. Sang raja memerintahkan mereka untuk menikmati hidangan yang telah disediakan, padahal waktu itu adalah bulan puasa. Titah raja adalah segalanya. Seluruh perintah raja harus dituruti, kalau tidak, mereka bakal terkena hukuman. Namun ada seorang kiai yang menolak untuk makan.

            Sang rajapun murka, ia bertanya kepada sang kiai “kenapa kau tidak mau makan hidangan yang telah disediakan. Apakah kamu tidak takut akan hukumanku?”. Dijawab oleh sang kiai “Aku hanya takut kepada Allah”. Raja pun tertegun mendengar jawaban tersebut. Akhirnya ia sadar akan kesalahannya, bahkan kemudian mengangkat sang kiai menjadi guru para kiai di kerajaan. (Tim alKisah*AP)

___________________
Sumber :
Majalah alKisah No. 19
16-29 September 2013

Hal 152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Page