Gaun Indah Hadiah Dari Ayah
Aku dan ibu tiba di rumah menjelang pukul setengah delapan
malam. Kami baru saja pulang, dari pusat perbelanjaan. “Senyum-senyum terus. Senang
ya, dapat baju bagus?” goda Ibu. Aku hanya tertawa. Di kamar, dengan tak sabar
kucoba baju baruku. Benar-benar indah. Warnanya hijau pastel dipadu putih
gading. Akhirnya, keinginanku punya baju seperti ini, terpenuhi juga. Baju baruku
ini hampir sama dengan baju yang dibelikan ayah, beberapa tahun lalu. Aku menyimpannya
di laci kamarku.
Kubuka laci lemari dan kuambil
kantung plastik warna hitam. Dari dalamnya kukeluarkan baju istimewa itu dan
kutempelkan di badanku. Tentu saja sudah kekecilan, karena baju itu diberikan
ketika umurku 9 tahun. Sesaat haru menyeruak di hatiku. Ya, waktu berjalan cepat.
Tak terasa sudah tiga tahun, ayah meninggalkanku dan ibu. Kuhela nafasku dengan
berat, kupeluk baju baru yang tak pernah kupakai itu. Kejadian tiga tahun lalu
seolah terulangi lagi.
Siang itu adalah hari yang tak
terlupakan. Ayah pulang, setelah selama dua bulan meninggalkan kami, untuk
bertugas. Aku berlari-lari menuju garasi, dan ayah berdiri dengan kedua tangan
terbentang. “Mila kangen sama ayah,” kataku ketika di pelukannya. Ayah tertawa.
“Ayah juga kangen sama Mila! Ini ayah bawa oleh-oleh buat kamu!” segera kubuka
bungkusan dari ayah. Sebuah gaun indah! “Ini untuk dipakai sholat Ied!” ujar
ayah. Saat itu, lebaran memang tinggal beberapa hari lagi. Kucoba gaun itu dan
aku sangat menyukainya. Apalagi, ibupun lalu membelikan sepasang sepatu
berwarna putih gading. Lebaran nanti, rasanya akan penuh kebahagiaan.
Ibu mulai sibuk menyiapkan kue-kue
kering. Ayah mengganti tirai-tirai dan memasang karpet baru. Sementara aku
menyiapkan kartu-kartu lebaran, untuk teman-teman. Semua sibuk tapi merasa
bahagia. Tapi kebahagiaan itu lenyap, ketika aku dan ibu mendengar berita
mengejutkan saat lebaran. Ayah mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang
mengantar Bik Minah, pembantu kami, ke kampung halamannya. Ayah tidak tertolong
lagi. Sementara pak udin, sopir kami, luka-luka cukup parah.
Rasanya aku tak mau mempercayai
kabar itu. Bagaimana mungkin, ayah meninggalkanku secepat itu. Baru tadi siang,
aku dan ayah menggoda ibu yang sedang sibuk megngisi ketupat. Baru tadi siang,
ayah memberikan sebatang coklat untuk dimakan, saat berbuka puasa. Tapi kini? Yang
ada di hadapanku dan ibu, adalah sebujur tubuh yang kaku. Oh, Ayah... aku dan
ibu saling berpelukantangis kami pecah diantara suara takbir yang khidmat.
Tak kusadari air mata mengalir di
pipiku. Kupeluk gaun indah dari ayah. Oh, Ayah. Aku rindu untuk merayakan
lebaran bersamau, seperti dulu. Tiba-tiba pintu terbuka dan ibu masuk. Cepat-cepat
kuhapus air mataku. Aku tahu, ibu pun sangat kehilangan ayah. Dan, air mataku
ini bisa membuat ibu kembali sedih. “Kok lama sekali, Mila? Ayo kita makan. Kamu
kan.... loh....” Terlambat. Ibu sudah melihat gaun indah dari ayah, yang sedang
kupeluk.
“Ini baju dari ayah dulu, kan? Mengapa
tidak pernah dipakai?” tanya ibu. “Mila sengaja menyimpannya, karena baju ini
adalah pemberian ayah yang terakhir,” jawabku. “Oh, ibu tahu. Baju itu sengaja
tak pernah kamu pakai dan sengaja kamu simpan, sebagai kenang-kenangan ‘kan?”
suara ibu begitu lembut dan sejuk di telingaku. “Nah, sekarang kita makan dulu,
yuk...!” ajak ibu.”Ya, Bu, sebentar lagi mila susul. Ibu tunggu saja di ruang
makan.” “Baiklah!” ibu lalu keliar dari kamarku.
Oh, gaun indah ini adalah bukti kasih sayang ayah
kepadaku. Penghapus rasa sedihku. Tak mungkin kuberikan kepada orang lain. Kuhela
nafasku. Mata terasa panas dan basah. Segera kuhampiri ibu di ruang makan. Ibu sedang
makan sendirian. Aku pun bergabung ikut makan bersama ibu. Selama makan,
tiba-tiba pikiranku melayang kepada Maryati dan keluarganya. Karena pak Udin,
ayah Maryati, cacat seumur hidup. Tak bisa bekerja lagi untuk membiayai
keluarganya.
Pak Udin dulu bekerja sebagai sopir
kami. Kecelakaan tida tahun lalu, tak hanya mengakibatkan ayah meninggal, tapi
juga pak Udin menjadi cacat seumur hidup. Tangan dan kaki kanannya harus
diamputasi. Ah, aku jadi risih. Di hadapanku saat ini terhidang bermacam lauk
pauk. Aku juga baru membeli sepotong bajuyang harganya lumayan mahal, masih
ditambah sepasang sepatu dan sandal. Sementara Maryati? Jangankan memikirkan
berbagai kebutuhan lebaran. Untuk makan sahur dan berbuka puasa saja, harus
sesederhana mungkn.
“Bu, Mila tahu kalau ibu sudah
membantu keluarga pak Udin. Tapi Mila juga ingin memberikan hadiah, untuk
Maryati. Mila akan mengambil sebagian tabungan Mila. Lalu tolong ibu belikan
baju lebaran untuk Maryati,” kataku memecah keheningan. Ibu tersenyum dengan
muka berkaca-kaca. “Ibu senang sekali mendengarnya. Berarti kamu sudah mau membagi
rezekimu pada orang lain,” ujar ibu seraya memelukku. “Semoga Tuhan selalu
memberikan kita kekuatan, untuk melakukan kebajukan”.
___________________
Sumber :
Majalah Mentari 351
5-11 November 2006
Hlm 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar