Sabtu, 05 Maret 2016

Gaun Indah Hadiah Dari Ayah

Gaun Indah Hadiah Dari Ayah

Aku dan ibu tiba di rumah menjelang pukul setengah delapan malam. Kami baru saja pulang, dari pusat perbelanjaan. “Senyum-senyum terus. Senang ya, dapat baju bagus?” goda Ibu. Aku hanya tertawa. Di kamar, dengan tak sabar kucoba baju baruku. Benar-benar indah. Warnanya hijau pastel dipadu putih gading. Akhirnya, keinginanku punya baju seperti ini, terpenuhi juga. Baju baruku ini hampir sama dengan baju yang dibelikan ayah, beberapa tahun lalu. Aku menyimpannya di laci kamarku.

Kubuka laci lemari dan kuambil kantung plastik warna hitam. Dari dalamnya kukeluarkan baju istimewa itu dan kutempelkan di badanku. Tentu saja sudah kekecilan, karena baju itu diberikan ketika umurku 9 tahun. Sesaat haru menyeruak di hatiku. Ya, waktu berjalan cepat. Tak terasa sudah tiga tahun, ayah meninggalkanku dan ibu. Kuhela nafasku dengan berat, kupeluk baju baru yang tak pernah kupakai itu. Kejadian tiga tahun lalu seolah terulangi lagi.


Siang itu adalah hari yang tak terlupakan. Ayah pulang, setelah selama dua bulan meninggalkan kami, untuk bertugas. Aku berlari-lari menuju garasi, dan ayah berdiri dengan kedua tangan terbentang. “Mila kangen sama ayah,” kataku ketika di pelukannya. Ayah tertawa. “Ayah juga kangen sama Mila! Ini ayah bawa oleh-oleh buat kamu!” segera kubuka bungkusan dari ayah. Sebuah gaun indah! “Ini untuk dipakai sholat Ied!” ujar ayah. Saat itu, lebaran memang tinggal beberapa hari lagi. Kucoba gaun itu dan aku sangat menyukainya. Apalagi, ibupun lalu membelikan sepasang sepatu berwarna putih gading. Lebaran nanti, rasanya akan penuh kebahagiaan.

Ibu mulai sibuk menyiapkan kue-kue kering. Ayah mengganti tirai-tirai dan memasang karpet baru. Sementara aku menyiapkan kartu-kartu lebaran, untuk teman-teman. Semua sibuk tapi merasa bahagia. Tapi kebahagiaan itu lenyap, ketika aku dan ibu mendengar berita mengejutkan saat lebaran. Ayah mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang mengantar Bik Minah, pembantu kami, ke kampung halamannya. Ayah tidak tertolong lagi. Sementara pak udin, sopir kami, luka-luka cukup parah.

Rasanya aku tak mau mempercayai kabar itu. Bagaimana mungkin, ayah meninggalkanku secepat itu. Baru tadi siang, aku dan ayah menggoda ibu yang sedang sibuk megngisi ketupat. Baru tadi siang, ayah memberikan sebatang coklat untuk dimakan, saat berbuka puasa. Tapi kini? Yang ada di hadapanku dan ibu, adalah sebujur tubuh yang kaku. Oh, Ayah... aku dan ibu saling berpelukantangis kami pecah diantara suara takbir yang khidmat.

Tak kusadari air mata mengalir di pipiku. Kupeluk gaun indah dari ayah. Oh, Ayah. Aku rindu untuk merayakan lebaran bersamau, seperti dulu. Tiba-tiba pintu terbuka dan ibu masuk. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Aku tahu, ibu pun sangat kehilangan ayah. Dan, air mataku ini bisa membuat ibu kembali sedih. “Kok lama sekali, Mila? Ayo kita makan. Kamu kan.... loh....” Terlambat. Ibu sudah melihat gaun indah dari ayah, yang sedang kupeluk.

“Ini baju dari ayah dulu, kan? Mengapa tidak pernah dipakai?” tanya ibu. “Mila sengaja menyimpannya, karena baju ini adalah pemberian ayah yang terakhir,” jawabku. “Oh, ibu tahu. Baju itu sengaja tak pernah kamu pakai dan sengaja kamu simpan, sebagai kenang-kenangan ‘kan?” suara ibu begitu lembut dan sejuk di telingaku. “Nah, sekarang kita makan dulu, yuk...!” ajak ibu.”Ya, Bu, sebentar lagi mila susul. Ibu tunggu saja di ruang makan.” “Baiklah!” ibu lalu keliar dari kamarku.

Oh, gaun indah ini adalah bukti kasih sayang ayah kepadaku. Penghapus rasa sedihku. Tak mungkin kuberikan kepada orang lain. Kuhela nafasku. Mata terasa panas dan basah. Segera kuhampiri ibu di ruang makan. Ibu sedang makan sendirian. Aku pun bergabung ikut makan bersama ibu. Selama makan, tiba-tiba pikiranku melayang kepada Maryati dan keluarganya. Karena pak Udin, ayah Maryati, cacat seumur hidup. Tak bisa bekerja lagi untuk membiayai keluarganya.


Pak Udin dulu bekerja sebagai sopir kami. Kecelakaan tida tahun lalu, tak hanya mengakibatkan ayah meninggal, tapi juga pak Udin menjadi cacat seumur hidup. Tangan dan kaki kanannya harus diamputasi. Ah, aku jadi risih. Di hadapanku saat ini terhidang bermacam lauk pauk. Aku juga baru membeli sepotong bajuyang harganya lumayan mahal, masih ditambah sepasang sepatu dan sandal. Sementara Maryati? Jangankan memikirkan berbagai kebutuhan lebaran. Untuk makan sahur dan berbuka puasa saja, harus sesederhana mungkn.

“Bu, Mila tahu kalau ibu sudah membantu keluarga pak Udin. Tapi Mila juga ingin memberikan hadiah, untuk Maryati. Mila akan mengambil sebagian tabungan Mila. Lalu tolong ibu belikan baju lebaran untuk Maryati,” kataku memecah keheningan. Ibu tersenyum dengan muka berkaca-kaca. “Ibu senang sekali mendengarnya. Berarti kamu sudah mau membagi rezekimu pada orang lain,” ujar ibu seraya memelukku. “Semoga Tuhan selalu memberikan kita kekuatan, untuk melakukan kebajukan”.

___________________
Sumber :
Majalah Mentari 351
5-11 November 2006

Hlm 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Page