Jumat, 26 April 2019

Makalah Study Al Qur'an - Israilliyat


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perantara malaikat jibril. Yang dipakai sebagai sumber utama ajaran islam. Yang di dalamnya berisikan aturan kehidupan manusia baik dalam segi syariat, aqidah, akhlak dan lain sebagainya.
Al qur’an adalah kitab suci yang dijamin oleh Allah keasliannya serta dijaga dari campur tangan manusia tidak seperti kitab-kitab terdahulu. Walaupun tidak akan berubah oleh campur tangan manusia tetapi dalam memahami Al Qur’an tidak akan tetap tergantung dengan kemampuan orang yang memahaminya. Pada zaman dahulu ketika Nabi masih hidup semua pertanyaan atau kemusykilan tentang Al Qur’an bisa ditanyakan langsung terhadap beliau. Tetapi setelah beliau wafat, mereka kesulitan memahami Al Qur’an. Dan tak jarang para ahli tafsir bertanya kepada ahli kitab karena adanya kesamaan dalam Al Qur’an dan dalam kitab suci mereka.


B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian, sejarah dan pembagian israilliyat ?
2.      Bagaimana contoh ayat israilliyat dalam Al Qur’an ?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui seluruh penjelasan mengenai israilliyat.
2.     Mengetahui contoh dan kandungan ayat israilliyat yang terdapat dalam Al Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ISRAILIYAT
 Israiliyat berasal dari bahasa Arab, yaitu " قصة ", bentuk jamaknya adalah " قصص " dengan qaf dibaca kasrah. Kisah dalam bahasa Arab adalah berita-berita yang diriwayatkan dan diceritakan. Al-Qur'an telah menamakan berita-berita umat terdahulu yang disampaikan kepada kita dengan sebutan kisah. 
Secara etimologi kata Israiliyat إسرائیلیات merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyah إسرائیلیة yang dinisbahkan pada Israil إسرائیل yang dalam bahasa Ibrani, kata Isra berarti hamba atau pilihan, dan  il berarti Allah. Israil ini tidak lain adalah julukan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim a.s. Sejarah menceritakan bahwa Nabi Ya’qub memiliki 12 anak, salah satunya bernama Yahuda. Sehingga keturunan Yahuda disebut dengan Yahudi dan dari 12 keturunannya disebut dengan Bani Israil yang termasuk di dalamnya Yahudi.
Secara terminologis, Israiliyah merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadits dimana periwayatannya berkaitan dengan sumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka atau tidak dan kenyataannya kisah-kisah tersebut merupakan pembauran dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang dibawa oleh orang-orang Yahudi.
Sedangkan dari segi pendapat Ulama’ banyak perbedaan pendapat, salah satunya pendapat Husein Adz-zahabi yang mengatakan walaupun makna lahiriyah dari israiliyat adalah pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran Al Qur’an, tetapi kami mendefinisikannya lebih luas dari itu. Maksudnya, setiap sesuatu yang masuk ke dalam tafsir dan hadits yang sumber periwayatannya kembali pada sumber orang Yahudi, Nasrani dan yang lain yaitu pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani terhadap tafsir.
1.      Kisah dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu : Yahudi, Nasrani atau lainnya.
2.      Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam kedalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Perbedaan pendapat para ulama ini sangat jelas terutama dalam hal materi dan sumbernya. Meskipun begitu, beliau-beliau bersepakat bahwa israiliyat ini berisi unsur-unsur luar yang masuk ke dalam islam.

B.     SEJARAH MASUKNYA ISRAILIYAT KEDALAM TAFSIR
Masuknya Israilliat ke dalam tafsir al-Qur’an erat sekali hubungannya dengan masyarakat Arab Jahiliah. Di antara penduduk Arab terdapat masyarakat Yahudi yang pertama kali memasuki daerah Jazirah Arabia dikarenakan adanya desakan dan siksaan dari Titus, yaitu seorang panglima Romawi sekitar tahun 70 M.
Selain itu pedagang Arab Jahiliah umumnya melakukan perjalanan dagang pada musim dingin ke negeri Yaman dan panas ke Syam yang mayoritas banyak Ahli Kitab. Pertemuan antara pedagang Arab Jahiliah dengan Ahli Kitab memotifasi masuknya kisah-kisah Yahudi ke dalam bangsa Arab. Ketika Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah kontak dagang keduanya masih berjalan lancar bahkan di Madinah banyak Yahudi yang berdiam di sana, seperti Bani Nadhir dan Quraizah. Sebagian dari kelompok ini ada yang masuk Islam termasuk para pemimpinnya. Di periode inilah berkemungkinan berkembangnya bibit Israilliat, dengan dilatarbelakangi oleh kontak langsung kaum muslimin dengan orang Yahudi Ahli Kitab dan dari kalangan pimpinan Yahudi sendiri yang masuk Islam. Indikasi bakal masuknya Israiliyat ditandai dengan adanya majelis pengajian kitab-kitab agama yang dilakukan oleh pendeta Yahudi, selanjutnya kegiatan ini disebut dengan midras. Pengajian yang mereka adakan inipun tidak jarang juga diikuti oleh para sahabat, di antaranya Umar Ibn Khatthab. Uraian ini menunjukkan bahwa masuknya Israiliyat ke dalam tafsir al-Qur’an sudah ada semenjak masa sahabat. Terbukti adanya sepuluh orang sahabat terkemuka dalam bidang tafsir ikut mengunjungi midras. Namun keikut sertaan mereka ini hanya bertujuan untuk mengetahui keberadaan ajaran Yahudi dan bukan untuk ikut mengembangkannya. Melihat kondisi tersebut dapat dipahami bahwa masuknya Israiliyat ke dalam tafsir al-Qur’an disebabkan oleh dua aspek, yaitu : 
 a. Kultur 
1) Rendahnya Kebudayaan Masyarakat Arab
Masuknya kebudayaan bangsa Arab ketika itu baik sebelum maupun sewaktu lahirnya agama Islam relative lebih rendah ketimbang kebudayaan Ahli Kitab yang lebih baik dan berilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang sejarah masa lalu.
2) Perbedaan Metodologi antara al-Qur’an, Taurat dan Injil
Isi al-Qur’an terkadang memiliki titik persamaan dengan kitab sebelumnya yang dipegang oleh Ahli Kitab pada masa itu seperti Injil, Taurat dan Zabur. Terutama yang berbicara mengenai kisah umat terdahulu dan para nabi dan rasul yang berbeda dalam penyajiannya. Umumnya, al-Qur’an menyajikan sebuah tema dilakukan secara i’jaz, sepotong-sepotong dan terkadang disesuaikan dengan kondisi, sebagai nasihat dan pelajaran bagi kaum muslimin. Sedangkan dalam kitab suci lainnya Ahli Kitab menyajikannya agak lengkap sehingga tidak memunculkan kemubhaman, seperti dalam penulisan sejarah. Jadi, wajar apabila ada kecenderungan sebagian manusia untuk melengkapi isi cerita dalam al-Qur’an dengan bahan cerita yang sama dari sumber kebudayaan Ahli Kitab.
3) Hadits sebagai sandaran
Adanya beberapa hadits Rasulullah SAW. yang dapat dijadikan sebagai sandaran atau pedoman oleh sahabat untuk menerima dan meriwayatkan sesuatu yang bersumber dari Ahli Kitab, meskipun penerimaan ini dilakukan dalam batas-batas tertentu.


b. Struktur 
1) Heterogenitas Penduduk
Struktur pemukiman penduduk Arabi ketika itu, di mana Ahli Kitab memiliki pemukiman yang berbaur dengan penduduk asli sejak lama. Menurut sejarah, terjadinya perpindahan penduduk Ahli Kitab dari Syam ke Arabi di awali sejak tahun 70 M. Mereka memasuki Arabia melepaskan diri dari keganasan Kaisar Titus dari Romawi yang membakar habis bait al-Maqdis. Ketika Madinah sudah menjadi ibu kota Negara yang dipimpin Rasul SAW., bangsa Yahudi memiliki pemukiman di sekitar kota. Dengan adanya pembauran pemukiman ini mengakibatkan terjadinya pembauran kebudayaan.  
2) Rute Perjalanan Niaga Masyarakat Arab
Rute perdagangan bangsa Arab khususnya bangsa Quraisy yang berpusat di kota Mekah sejak masa Jahiliah ke Utara dan ke Selatan pada musim tertentu mengakibatkan pertemuan mereka dengan Ahli Kitab di akhir rute perdagangan. Komunikasi yang terjalin di antara keduanya tentu memungkinkan terjadinya perbauran kebudayaan anatara Bangsa Arab dan Ahli Kitab. 
3) Kebersamaan 
Struktur social umat Islam dan Ahli Kitab yang terjalin sangat baik sejak masa Rasullullah SAW., ketika itu dan bahkan tokoh-tokoh dari kalangan Ahli Kitab diberi kehormatan di tengah masyarakat Islam. Jadi, wajar apabila sahabat memanfaatkan ilmu pengetahuan mereka tentang kisah para nabi yang ada di kalangan bani Israil yang juga ada di kalangan masyarakat Islam sendiri, untuk memperjelas cerita-cerita yang ada di dalam al-Qur’an.
 Melihat kondisi di atas tidak heran apabila sebagian kecil mufassir pada masa sahabat menjadikan Ahli Kitab sebagai sumber dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini dikarenakan masih tersimpannya ingatan mereka tentang peristiwa umat sebelumnya. Makanya sebahagian sahabat menjadikan Ahli Kitab sebagai sumber pengetahuan dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun perlu diingat, penafsiran yang mereka lakukan hanya dalam persoalan yang wajar-wajar saja, karena pembahasan yang mereka bicarakan hanya persoalan kisah para nabi dan umat terdahulu. Sedangkan dalam persoalan hukum dan aqidah mereka tidak menjadikan Ahli Kitab sebagai sumber dalam menafsirkan alQur’an kecuali hanya untuk konfirmasi saja.
Rasulullah sendiri dalam menyikapi berita dari kalangan sahabat yang dulunya ahli kitab sangatlah bijaksana. Beliau tidak menggeneralisir bahwa semua yang bersumber dari Yahudi pasti salah dan demikian juga tidak langsung membenarkannya. Beliau hanya mengingatkan untuk berhati-hati dalam menerimanya :
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَينَاْ
“Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kami” 
Selanjutnya, pada masa tabi’in Ahli Kitab semakin banyak yang masuk Islam dan otomatis mereka dijadikan sebagai sumber dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun, sebahagian mufassir ketika itu ada yang kurang memperhatikan kebenaran sumber dan isi dari Israiliyat, sehingga bercampurlah antara keterangan yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang salah, yang logis dengan yang tidak logis. Akibat dari ketidak hati-hatian para mufassir tersebut banyak dari generasi selanjutnya pun mewariskan kesalahan para pendahulunya, yaitu menerima penjelasan pendahulunya yang berasal dari Ahli Kitab secara mutlak tanpa melakukan penelitian ulang.

C.    PEMBAGIAN ISRAILIYAT
Para ulama’ mengklasifikasikan israiliyat dalam 3 bagian yaitu :
1.    Israiliyat yang sejalan dengan islam yakni israiliyat yang diketahui keshahihannya.
2.    Israiliyat yang tidak sejalan dengan islam yakni israiliyat yang jelas kebohongannya.
3.    Israiliyat yang tidak masuk pada bagian pertama dan kedua yakni israiliyat yang didiamkan syariah islam.
Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada keterangan-keterangan Nabi. Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut, melainkan pemahaman para ulama’ terhadap keterangan-keterangan Nabi itulah yang memunculkan klasifikasi tersebut. Seumpama terdapat keterangan Nabi yang memperbolehkan atau melarang untuk meriwayatkan israiliyat, maka para ulama ini mengklasifikasi israiliyat pada apa yang sejalan dengan Islam dan apa yang tidak sejalan dengannya. Namun, terdapat pula keterangan Nabi yang mengutus umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan ahli kitab, sehingga para ulama’ pun membuat klasifikasi israiliyat yang tidak termasuk dalam bagian pertama dan kedua.
Studi kritis terhadap pengklasifikasian israiliyat menunjukkan bahwa tidak semua berita israiliyat sesuai dengan syariat islam. Adz-Dzahabi membagi israiliyat kedalam 3 bagian yaitu :
1.      Kualitas sanad
a)      Israiliyat yang shahih, seperti : Riwayat Ibnu Katsir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir ath-Thabari, al Mutsana dari Utsman, dari Fulaih, dari Hilal Ibnu Ali, dari Atha Ibnu Abi Rabbah, Atha berkata :
لقيت عبد الله بن عَمْرو بن العاص، فقلت: أخبرني عن صفة رسول الله صلى الله عليه وسلم في التوراة. فقال: أجل، والله إنه لموصوف في التوراة بصفته في القرآن: يا أيها النبي إنا أرسلناك شاهدًا ومبشرًا ونذيرًا، وحرزًا للأميين، وأنت عبدي ورسولي، سميتك المتوكل، لا فظٍّ ولا غليظ ، ولا يدفع بالسيئة السيئة ولكن يعفو ويغفر، ولن يقبضه حتى يقيم به الملة العوجاء، بأن يقولوا: لا إله إلا الله. فيفتح به أعينا عُمْيًاوآذانًا صُمًّا، وقلوبا غُلْفًا [13]
Artinya :
“ Aku bertemu dengan Abdullah Ibnu Umar Ibnu Ash dan bertanya, “ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah SAW. yang diterangkan dalam Taurat”. Ia menjawab “Tentu, Demi Allah SWT. yang diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam Al Qur’an.” “Wahai Nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pembari kabar gembira, pemberi peringatan dan pemelihara yang ummi.” Engkau adalah hambaku, namamu dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawamu sebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Dengan perantara engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli dan mata yang tertutup.
b)      Israiliyat yang Dhoif, seperti lafadz qof dalam surat qof ayat 1, yang disampaikan Ibnu Hatim dari ayahnya, dari Muhammad Ibnu Ismail, dari Laits Ibnu Abi Salim, dari Mujahid, dari Ibnu Abas.
إن الإمام أبا محمد عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي، رحمه الله، أورد هاهنا أثرا غريبا لا يصح سنده عن ابن عباس فقال:حدثنا أبي قال: حدثت عن محمد بن إسماعيل المخزومي: حدثنا ليث بن أبي سليم، عن مجاهد، عن ابن عباس قال: خلق الله من وراء هذه الأرض بحرًا محيطًا، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له "ق" السماء الدنيا مرفوعة عليه. ثم خلق الله من وراء ذلك الجبل أرضا مثل تلك الأرض سبع مرات. ثم خلق من وراء ذلك بحرا محيطًا بها، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له "ق" السماء الثانية مرفوعة عليه، حتى عد سبع أرضين، وسبعة أبحر، وسبعة أجبل، وسبع سموات. قال: وذلك قوله: { وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ }.
Artinya :
“Dibalik Bumi ini, Allah menciptakan sebuah lautan yang melingkupinya. Di dasar laut itu, Allah telah menciptakan pula sebuah gunung yang bernama Qof. Langit dan bumi ditegakkan diatasnya. Dibawahnya, Allah menciptakan langit yang mirip seperti bumi ini jumlahnya 7 lapis. Kemudian dibawahnya lagi, Allah menciptakan sebuah gunung yang bernama Qof. Langit kedua ditegakkan diatasnya. Sehingga jumlah semuanya 7 lapis bumi, 7 bulan, 7 gunung, dan 7 lapis langit.” Kemudian ia berkata”uraian ini merupakan maksud dari firman Allah: وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ(Q.S: Luqman:27)”.



2.      Hubungan Israiliyat dengan Islam
a)      Israiliyat yang sejalan dengan islam, seperti israiliyat yang menjelaskan bahwa sifat-sifat Nabi itu tidak kasar, tidak keras dan pemurah.
b)      Israilliyat yang tidak sejalan dengan islam, seperti israiliyat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir dari Basyir dari Yazid dari Sa’id dan dari Qatadah yang berkenaan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. Israiliyat itu menggambarkan perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang Nabi, seperti minum arak.
c)      Israiliyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua, seperti israiliyat yang disampaikan Ibnu Abbas dari Ka’ab al Akhbar dan Qatadah dari Wahhab bin Munabbih tentang orang yang pertama kali membangun ka’bah, yaitu Nabi Syis a.s.
3.      Sudut Pandang Materi
a)      Israiliyat yang berhubungan dengan aqidah, seperti firman Allah dalam Q.S. Az Zumar ayat 67 :
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya : Dan mereka tidak mengagungkan dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggamannya, pada hari kiamat dan langit di gulung dengan tangan kananNya Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
b)      Israiliyat yang berhubungan dengan hukum, seperti israilliyat dari Abdullaah Ibnu Umar yang bercerita mengenai hukum rajam dalam Taurat.
c)      Israiliyat yang berhubungan dengan kisah, seperti kisah umat terdahulu atau kisah para Nabi.

D.    CONTOH ISRAILIYAT DALAM AL QUR’AN
1.      Kisah Seorang Pria Yang Melewati Sebuah Negeri
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 259
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آَيَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Atau Apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Dalam versi israiliyat ayat di atas dikisahkan bahwa, pria yang melewati sebuah negeri itu adalah Uzair, sedangkan tempat tersebut adalah Baitul Maqdis setelah dihancurkan oleh Bakhtanshir yang mengusir bangsa Yahudi dari wilayah tersebut ke daerah Babilonia.
As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitab ad-Durrul Mantsur dari ibnu Abbas, Ka’ab al-Ahbar, al-Hasan al- Bashri dan Wahb bin Munabbih mereka berkata, “ Uzair adaalah seorang hamba yang shaleh. Suatu hari, ia memeriksa ladangnya, kemudian sampailah ia pada tempat reruntuhan dan puing-puing bangunan baitul maqdis. Tepat pada tengah hari, ia merasakan terik yang amat sangat, kemudian ia berteduh memasuki reruntuhan itu seraya mengendarai keledainya. Lalu ia turun dari keledainya sambil membawa sekantung buah tin dan anggur, kemudian berteduhlah ia dibawah naungan reruntuhan itu.
Sambil berbaring terlentang, isa memandangi atap rumah reruntuhan itu dan memperhatikan segala yang ada di sana. Atap itu masih tegap di atas tiang-tiangnya, sedangkan para penghuninya telah binasa. Kemudian matanya bertumbuk pada tulang belulang yang usang. Ia bergumam. “bagaimana Allah dapat menghidupkan kembali tulang-tulang itu sesudah dimusnahkan?” padahal, ia tidak sedikitpun meragukan bahwa Allah Maha Kuasa menghidupkan kembali tulang-belulang itu, dan perkataan itu hanya karena takjub. Lalu Allah mengutus malaikat maut untuk mencabut ruhnya dan Allah mewafatkannya selama seratus tahun.
Setelah berlalu seratus tahun-selama itu terjadilah berbagai hal dan peristiwa di kalangan Bani Israel. Allah mengutus kepadanya seorang malaikat. Diciptakan-Nya hatinya agar berfikir juga kedua matanya agar dapat melihat. Lalu ia mulai berfikir dan memahami bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati. Kemudian mulailah Allah menyusun penciptaannya sementara ia menyaksikan semua proses penyusunan kembali penciptaan tersebut. Lalu Allah melapisi tulang-belulangnya dengan daging dan kulit, kemudian ditiupkan kepadanya roh. Semua proses kejadian tersebut ia saksikan dan ia pahami.
Kemudian ia bangun dan terduduk. Malaikatpun bertanya kepadanya, “berapa lamanya engkau diam di sini?” dia menjawab, “aku tinggal di sini sehari.” Jawaban itu terlontar karena sebelum diwafatkan, dia tertidur pada waktu tengah hari ketika matahari begitu menyengat dan dibangkitkan pada waktu sore hari ketika matahari belum tenggelam, “atau setengah hari karena belum aku lalui hari ini sepenuhnya.”
Malaikat itu mengatakan kepadanya, “tetapi engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu!” yaitu roti kering dan sari buah yang telah dibuatnya dalam mangkuk, keduanya belum berubah dari keadaan semula. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya, “Lam yatasannah”  yang berarti tidak berubah.
Melihat itu semua seolah-olah hatinya tidak yakin. Lalu malaikatpun berkata kepadanya, ”kamu tidak percaya pada apa yang aku katakan? Lihatlah keledaimu! “maka ia memandang keledainya yang sudah hancur berantakan tulang-belulangnya dan hanya tinggal fosil-fosilnya. Kemudian malaikat itu memanggil tulang-belulang keledai tersebut, lalu merekapun menjawab dan datang dari segala penjuru. Malaikat pun menyusunnya kembali sementara  Uzair menyaksikannya. Kemudian tulang-belulang itu dibalut dengan urat-urat nadi dan syaraf lalu dibungkusnya dengan daging. Kemudian ia menumbuhkan padanya kulit dan rambut lalu meniupkan roh kepadanya. Dengan serta merta binatang itu berdiri menegakkan kepala dan kedua telinganya, mengangkat ke langit sambil meringkik.
Lalu ia menaiki keledainya dan bertolak menuju tempat asalnya. Setibanya di sana, kaumnya tidak mengenalinya dan ia pun tidak mengenali kaumnya. Ia juga tidak mengnali rumah-rumah tempat asalnya. Maka barulah ia dengan penuh perasaan gamang dan bimbang. Sampai akhirnya ia tiba di rumahnya dan bertemu dengan seorang wanita tua buta dan lumpuh. Wanita itu telah berusia seratus dua puluh tahun. Wanita itu dulunya seorang budak. Ketika Uzair pergi meninggalkan kaumnya seratus tahu yang lalu, budak itu masih berusia dua puluh tahun, ia mengenali dan memahami Uzair dengan baik.
Lalu Uzair pun menghampiri dan menyapanya, “hai wanita tua apakah ini temapt tinggal Uzair?”
Wanita itu menjawab, “ya!” lalu ia menagis dan berkata,  “tak seorang pun kulihat sejak sekian lama menyebut Uzair. Semua orang telah melupakannya!”
Uzair berkata, “sungguh sayalah Uzair!” wanita itu berpekik maha Suci Allah! Kami telah kehilangan Uzair seratus tahu lamanya. Namanya tidak pernah lagi disebut-sebut!”
Wanita itu berkata, “Uzair adalah seorang yang selalu dikabulkan do’anya. Ia terbiasa mendokan orang yang sakit dan cacat, supaya disembuhkan dan normal kembali. Maka berdo’alah kamu kepada Allah agar Ia mengembalikan kembali penglihatannku, dan aku dapat melihatmu. Jika engkau memang benar-benar Uzair, aku pasti mengenalimu.”
Maka Uzair pun berdo’a kepada Tuhannya, kemudian mengusap mata wanita itu dengan telapak tangannya. Lalu wanita itu mengedip-ngedipkan dan dapat melihat. Uzair pun memegangi tangan wanita itu dan membimbingnya sambil berkata, “bangunlah dengan izin Allah!” maka Allah menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Wanita itupun dapat berdiri normal, seakan-akan ia terbebas dari belenggu.
Kemudian wanita itu memperhatikan Uzair dan berkata setengah terpekik, “aku menjadi saksi bahwa engkau benar-benar Uzair!” Lalu bergegaslah wanita itu ketempat berkumpulnya Bani Isarail. Ketika itu mereka sedang mengadakan pertemuan. Salah seorang dari mereka adalah putera Uzair. Ia kini berusia seratus delapan belas tahun. Disekelilingnya adalah cucu-cucu Uzair yang telah tua pula usianya.
Wanita itu berkata kepada mereka dengan suara lantang, “ini adalah Uzair! Ia telah datang kepada kalian!” namun mereka mendustakannya. Wanita itu berkata lagi “aku ini budak kalian! Si fulanah! Uzair telah berdo’a kepada Tuhannya untukku, lalu Tuhan berkenan mengembalikan penglihatanku dan memulihkan kakiku. Ia mengaku bahwa Allah telah mewafatkannya selama seratus tahun, kemudian dihidupkan kembali.
Maka bangkitlah semua orang yang hadir dalam pertemuan itu, lalu menghampiri Uzair. Putranya memandanginya seraya berkata, “ayahku memiliki tanda hitam di antara kedua pundaknya. “Lalu Uzair menyingkap pakaian yang menutupi pundaknya, nyatalah bahwa ia memang Uzair.
Lalu bani israel berkata, tak seorangpun di antara kalian yang hafal kitab Taurat selain Uzair, padahal kitab itu telah dibakar oleh Bactanashir. Tidak tersisa sedikit pun kecuali apa yang engkau perintahkan orang-orang untuk menghafalnya, maka tulislah kemabali Taurat untuk kami!”
Konon, dulu ayah Uzair Surucha, telah mengubur kitab Taurat ketika terjadi pernyerbuan Bactanashir di tempat yang tidak diketahui seorang pun kecuali Uzair. Maka bertolaklah Uzair ketempat tersebut, menggalinya dan mengeluarkan kitab Taurat itu. Kitab Taurat tersebut halamannya telah usang dan rusak, tulisannya pun telah rusak dan pudar.
Kemudian ia pun duduk di bawah naungan pohon, sedang bani israil berada di sekelilingnya, lalu diperbaharuinya kitab Taurat tersebut untuk mereka. Pada saat itu turunlah duan buah pijar benda langit sampai memasuki rongga mulutnya. seketika ia ingat kembali isi kitab Taurat. Maka ia dapat menuliskannya kembali kitab Taurat untuk bani israil.
Karena itulah kaum yahudi mengatakan, “Uzair putra Allah!” sebagai ungkapan ketakjuban mereka setelah melihat keajaiban jatuhnya dua buah benda pijar langit tadi, juga diperbaharuinya kembali kitab Taurat dan kembalinya Uzair kepada mereka, untuk mengurusi persoalan bani israil. Konon, Uzair memperbaharui kembali kitab tersebut di daerah yang bernama as-Sawad, di biara Hizkil. Sementara itu, negeri tempat ia wafat bernama Sabir Abad.
Israiliyat dalam kisah ini menurut Imam Jabir ath-Thabari, kita sama sekali tidak mengetahui nama laki-laki tersebut. Bisa jadi namanya Uzair atau Urmiya, namun kita sama sekali tidak perlu mengetahui nama itu, karena maksud ayat tersebut bukanlah memberikan definisi tentang apa yang diciptakan Allah dalam kisah tersebut, melainkan memberikan pemahaman kondisi orang-orang yang mengingkari kekuasaan Allah swt untuk menghidupkan kembali ciptaan yang telah mati, mengembalikan mereka kepada bentuk semula setelah binasa, dan hanya ditangan Allah lah hidup matinya manusia. Baik dari kalangan Quraisy maupun bangsa Arab yang telah mendustakannya, juga memberikan penegasan argumentasi tentang hal itu terhadap orang-orang yang tinggal di antara dua tempat hijrah Rasul saw. Mulai dari daerah Buhudi bani Israil.
Seandainya turunnya ayat tentang kisah tersebut bertujuan memberikan kabar tentang nama laki-laki tersebut, tentu akan tercantum nash yang jelas di dalamnya, yang tidak menimbulkan keraguan. Namun, pada kenyataannya, ayat tersebut hanya bermaksud mengkritik ungkapan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Karena itulah Allah menyebutkan kisah ini dalam al-Qur’an.
2.      Kisah Orang Yang Terputus Dari Ayat-Ayat Allah
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-A’rof ayat: 175-177
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ
Artinya: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
Ayat tersebut menceritakan tentang seorang laki-laki yang hidup di zaman dahulu, yaitu pada masa nabi Musa hidup seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil, ia dikenal dengan nama panggilan Bal'am ibnu Ba'ura yang tinggal di Baitul Maqdis. Dia adalah seorang laki-laki dari kalangan penduduk Al-Balqa, yang mengetahui tentang Ismul Akbar.
Di dalam sebagian hadis disebutkan bahwa dia termasuk orang yang lisannya beriman, tetapi hatinya tidak beriman alias munafik, karena sesungguhnya dia mempunyai banyak syair yang mengandung makna ketuhanan, kata-kata bijak, dan fasih, tetapi Allah  tidak melapangkan dadanya untuk masuk Islam.
Nabi Musa berangkat dengan pasukan kaum Bani Israil menuju negeri tempat Ba’lam berada, atau negeri Syam. Lalu penduduk negeri tersebut merasa sangat takut dan gentar terhadap Musa. Maka mereka mendatangi Ba’lam dan mengatakan kepadanya, "Do’akanlah kepada Allah untuk kehancuran nabi Musa dan bala tentaranya." Ba’lam menjawab, "Tunggulah sampai aku meminta saran dari Tuhanku, atau aku diberi izin oleh-Nya." Ba’lam meminta saran dari Tuhannya dalam do’anya yang memohon untuk kehancuran Musa dan pasukannya. Maka dijawab, "Janganlah kamu mendoakan buat kehancuran mereka, karena sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Ku, dan di antara mereka terdapat nabi mereka." Maka Ba’lam melapor kepada kaumnya, "Sesungguhnya aku telah meminta saran kepada Tuhanku dalam do’aku yang memohon untuk kehancuran mereka, tetapi aku dilarang melakukannya. Kaumnya berkata, "Sekiranya Tuhanmu tidak suka engkau mendoakan untuk kehancuran mereka, niscaya Dia akan melarangmu pula sebagaimana Dia melarangmu pada pertama kalinya. "Bal'am terpaksa berdoa untuk kebinasaan mereka. Tetapi apabila ia mendoakan untuk kehancuran mereka (Musa dan pasukannya), maka yang terucapkan oleh lisannya justru mendoakan untuk kehancuran kaumnya. Dan apabila ia mendoakan untuk kemenangan kaumnya, justru lisannya mendo’akan untuk kemenangan Musa dan pasukannya atau hal yang semacam itu, seperti apa yang dikehendaki oleh Allah.
Maka kaumnya berkata, "Kami tidak melihatmu berdo’a melainkan hanya untuk kehancuran kami." Bal'am menjawab, "Tiada yang terucapkan oleh lisanku melainkan hanya itu. Sekiranya aku tetap mendo’akan untuk kehancurannya, niscaya aku tidak diperkenankan. Tetapi aku akan menunjukkan kepada kalian suatu perkara yang mudah-mudahan dapat menghancurkan mereka. Sesungguhnya Allah murka terhadap perbuatan zina, dan sesungguhnya jika mereka terjerumus ke dalam perbuatan zina, niscaya mereka akan binasa; dan aku berharap semoga Allah membinasakan mereka melalui jalan ini."
Bal'am melanjutkan ucapannya, "Karena itu, keluarkanlah kaum wanita kalian untuk menyambut mereka. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang sedang musafir, mudah-mudahan saja mereka mau berzina sehingga binasalah mereka." Kemudian mereka melakukan hal itu dan mengeluarkan kaum wanita mereka menyambut pasukan Nabi Musa. Tersebutlah bahwa raja mereka mempunyai seorang anak perempuan, perawi menyebutkan perihal kebesaran tubuhnya yang kenyataannya hanya Allah yang mengetahuinya. Lalu ayahnya atau Bal'am berpesan kepadanya, "Janganlah engkau serahkan dirimu selain kepada Musa." Akhirnya pasukan Bani Israil terjerumus ke dalam perbuatan zina. Kemudian datanglah kepada wanita tadi seorang pemimpin dari salah satu kabilah Bani Israil yang menginginkan dirinya. Maka wanita itu berkata, "Saya tidak mau menyerahkan diri saya selain kepada Musa."
Bal’am mengendarai keledainya hingga sampai di suatu tempat yang dikenal dengan nama al-Ma'luli. Lalu Bal'am memukuli keledainya, tetapi keledainya itu tidak mau maju, bahkan hanya berdiri saja di tempat. Lalu keledai itu berkata kepadanya, "Mengapa engkau terus memukuliku? Tidakkah engkau melihat apa yang ada di hadapanmu ini?" Tiba-tiba setan menampakkan diri di hadapan Bal'am. Lalu Bal'am turun dan bersujud kepada setan itu.
Menurut suatu pendapat, bahwa Musa ketika turun di negeri Kan'an—bagian dari wilayah Syam—maka kaum Bal’am datang menghadap kepada Bal’am dan mengatakan kepadanya, "Musa ibnu Imran telah datang bersama dengan pasukan Bani Israil. Dia datang untuk mengusir kita dari negeri kita dan akan membunuh kita, lalu membiarkan tanah ini dikuasai oleh Bani Israil. Dan sesungguhnya kami adalah kaummu yang dalam waktu yang dekat tidak akan mempunyai tempat tinggal lagi, sedangkan engkau adalah seorang lelaki yang doanya diperkenankan Tuhan. Maka keluarlah engkau dan berdo’alah untuk kehancuran mereka." Bal’am menjawab, "Celakalah kalian! Nabi Allah ditemani oleh para malaikat dan orang-orang mukmin, maka mana mungkin saya pergi mendo’akan untuk kehancuran mereka, sedangkan saya mengetahui Allah tidak akan menyukai hal itu?" Mereka mengatakan kepada Bal’am, "Kami tidak akan memiliki tempat tinggal lagi." Mereka terus-menerus meminta dengan memohon belas kasihan dan berendah diri kepada Bal’am untuk membujuknya.
Akhirnya Bal’am terbujuk, lalu Bal’am menaiki keledai kendaraannya menuju ke arah sebuah bukit sehingga ia dapat melihat perkemahan pasukan kaum Bani Israil, yaitu Bukit Hasban. Setelah berjalan tidak begitu jauh, keledainya mogok, tidak mau jalan. Maka Bal’am turun dari keledainya dan memukulinya hingga keledainya mau bangkit dan berjalan, lalu Bal’am menaikinya. Tetapi setelah berjalan tidak jauh, keledainya itu mogok lagi, dan Bal’am memukulinya kembali, lalu menjewer telinganya. Maka secara aneh keledainya dapat berbicara —memprotes tindakannya— seraya mengatakan, "Celakalah kamu. hai Bal’am, ke manakah kamu akan pergi. Tidakkah engkau melihat para malaikat berada di hadapanku menghalang-halangi jalanku? Apakah engkau akan pergi untuk mendoakan buat kehancuran Nabi Allah dan kaum mukminin?" Bal'am tidak menggubris protesnya dan terus memukulinya, maka Allah memberikan jalan kepada keledai itu setelah Bal'am memukulinya. Lalu keledai itu berjalan membawa Bal'am hingga sampailah di atas puncak Bukit Hasban, di atas perkemahan pasukan Nabi Musa dan kaum Bani Israil. Setelah ia sampai di tempat itu, maka ia berdo’a untuk kehancuran mereka. Tidak sekali-kali Bal'am mendo’akan keburukan untuk Musa dan pasukannya, melainkan Allah memalingkan lisannya hingga berbalik mendo’akan keburukan bagi kaumnya. Dan tidak sekali-kali Bal'am mendoakan kebaikan buat kaumnya, melainkan Allah memalingkan lisannya hingga mendoakan kebaikan buat Bani Israil.
Maka kaumnya berkata kepadanya, "Tahukah engkau, hai Bal'am, apakah yang telah kamu lakukan? Sesungguhnya yang kamu do’akan hanyalah untuk kemenangan mereka dan kekalahan kami." Bal'am menjawab, "Ini adalah suatu hal yang tidak saya kuasai, hal ini merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah." Maka ketika itu lidah Bal'am menjulur keluar sampai sebatas dadanya, lalu ia berkata kepada kaumnya, "Kini telah lenyaplah dariku dunia dan akhiratku, dan sekarang tiada jalan lain bagiku kecuali harus melancarkan tipu muslihat dan kilah yang jahat. Maka aku akan melancarkan tipu muslihat buat kepentingan kalian.
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut teks Ibnu Ishaq, dari Salim, dari Abun Nadr, lidah Bal'am terjulur sampai dadanya. Lalu dia diserupakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, yakni jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya. Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah 'Bal'am menjadi seperti anjing dalam hal kesesatannya dan keberlangsungannya di dalam kesesatan serta tidak adanya kemauan memanfaatkan doanya untuk keimanan. Perihalnya diumpamakan dengan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya dalam kedua keadaan tersebut, jika dihardik menjulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan tetap menjulurkan lidahnya tanpa ada perubahan. Demikian pula keadaan Bal'am, dia tidak memanfaatkan pelajaran dan doanya buat keimanan; perihalnya sama dengan orang yang tidak memilikinya.
3.      Kisah Penduduk Sebuah Kota
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Yaasiin ayat: 13-29
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ (16) وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (17) قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19) وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (20) اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ (21) وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (22) أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلَا يُنْقِذُونِ (23) إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (24) إِنِّي آَمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ (25) قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ (26) بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ (27) وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِينَ (28) إِنْ كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ (29) يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (30) أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ (31) وَإِنْ كُلٌّ لَمَّا جَمِيعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُونَ (32) وَآَيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ (33) وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ (34) لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ (35) سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ  كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ (36) وَآَيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ (37) مُظْلِمُونَ
Artinya: Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, Yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka.
 (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, Maka ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya Kami adalah orang-orang di utus kepadamu".
Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami dan Allah yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka".
Mereka berkata: "Tuhan Kami mengetahui bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang yang diutus kepada kamu".
Dan kewajiban Kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas".
Mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami".
Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas".
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu".
Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?
Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain nya jika (Allah) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?
Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; Maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.
Dikatakan (kepadanya): "Masuklah ke syurga". ia berkata: "Alangkah baiknya Sekiranya kaumku mengetahui.
Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku Termasuk orang-orang yang dimuliakan".
Dan Kami tidak menurunkan kepada kaum sesudah Dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.
Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; Maka tiba-tiba mereka semuanya mati.
Diceritakan menurut riwayat israiliyat, kota itu bernama Antokiyah yang dulunya merupakan bagian dari negeri Romawi dan dipimpin oleh seorang raja yang dzalim penyembah patung bernama Anthikus. Nabi Isa menginginkan agar penduduknya beriman kepada Allah. Beliau mengutus dua orang dari golongan Hawari yang akhirnya didustakan oleh penduduk itu. Setelah itu, diutus kembali Hawari yang ketiga.
Mereka berkata, “nabi Isa telah mengutus dua utusan ke Antokiyah kemudian keduanya bertemu dengan seorang kakek yang sedang menggembalakan domba-dombanya. Kakek ini bernama Habin an-Najjar. Keduanya mengajak si kakek untuk beriman kepada Allah dan menerangkan bahwa mukjijat keduanya adalah menyembuhkan penyakit. Diceritakan bahwa si kakek mempunyai anak yang sakit gila. Kemudian kedua utusan tadi mengusap anak itu dan ternyata sembuh maka berimanlah kakek itu.
Setelah kejadian itu, tersebarlah keahlian mereka berdua di seluruh kota. Keduanya banyak menyembuhkan berbagai penyakit. Ketika raja kafir penyembah berhala mendengar berita tentang keduanya, ia marah dan memenjarakan keduanya.
Setelah nabi Isa tahu apa yang terjadi pada dua utusan itu, beliau mengutus utusan yang ketiga yang bernama Syam’un. Karena dia tahu apa yang terjadi pada kedua temannya maka dia mencari tipu muslihat supaya sampai pada raja hingga berhasil dan menyembunyikan keimanan serta agamanya. Kemudian, dia dapat hidup dengan raja dan menjadi teman dekatnya.
Pada suatu hari berkatalah dia kepada raja, “aku mendengar bahwa engkau telah memenjarakan dua orang yang mengajakmu beriman kepada Allah, bolehkan aku bertanya perihal keduanya? Raja berkata, “kemarahan telah menghalangi antara aku dan pertanyaan tentang keduanya.” Kemudian dia berkata, “bagaimana kalau mereka kupanggil sekarang?” keduanya pun dipanggil. Kemudian Syam’un berkata, “apa yang menjadi bukti dari agama kalian berdua?” keduanya berkata, “kami menyembuhkan orang yang buta” kemudian mereka mendatangkan seorang laki-laki yang buta matanya, seakan-akan tak ada tempat bagi matanya karena menyatu dengan pelipisnya. Berdo’alah kedua utusan ini pada  Allah. Tidak lama kemudian terbukalah kedua mata anak itu dan bisa melihat.
Terkejutlah raja dengan apa yang baru dilihatnya. Ia berkata, “ada seorang anak yang telah tujuh hari mati dan belum dikubur karena menunggu kedatangan bapaknya. Apakah kalian berdua dapat menghidupkannya? Keduanya menjawab, “ya! Kemudian keduanya berdo’a kepada Allah secara terang-terangan sementara Syam’un berdo’a dengan cara sembunyi-sembunyi. Maka Allah menghidupkan mayat itu kemudian ia berdiri dan berkata pada manusia. Aku telah mati sejak tujuh hari yang lalu dalam keadaan musyrik maka aku dimasukkan ke dalam tujuh lembah neraka. Maka berhati-hatilah kalian dengan kemusyrikan kalian dan berimanlah kalian kepada Allah. Kemudian dibukalah pintu-pintu langit dan aku melihat seorang pemuda tampan memberi syafaat kepada ketiga orang ini yaitu Syam’un dan kedua temannya hingga Allah menghidupkanku dan aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Isa adalah Nabi Allah dan menyampaikan kalimat-Nya. Sesungguhnya mereka adalah utusan-utusan Allah.”
Mereka berkata, “Syam’un juga bersama mereka?” Dia berkata, “betul, bahkan dialah yang paling utama di antara mereka!” Maka Syam’un memberitahukan mereka bahwa sesungguhnya dia adalah utusan Almasih untuk mengajak mereka beriman pada Allah. Maka raja itu beriman bersama sebagian besar kaumnya sementara sebagian yang lain tetap dalam kekafiran. Dalam versi lain dikatakan bahwa raja tidak beriman, bahkan dia bertambah kufur dan menentang kemudian menindas dan menyiksa mereka serta ingin membunuh dan menghukum mereka.
Kemudian datanglah dari ujung kota seorang laki-laki dengan bergesa-gesa. Dia itu adalah Habib bin Mari, yaitu Habib an-Najjar yang dulu dilewati oleh kedua utusan pertama, serta anaknya yang gila yang telah disembuhkan oleh merka. Kemudian dia berkata pada raja dan tentara-tentaranya, mengajak mereka beriman kepada Allah dan utusan-utusannya sambil mengumumkan keimanannya.
Maka marahlah raja padanya dan memerintahkan kepada tentaranya supaya mereka membunuh laki-laki itu. Kemudian mereka pun menangkap dan membunuhnya. Dikatakan bahwa mereka menginjak-injaknya sehingga keluarlah isi perutnya melalui dubur hingga mati. Dikatakan pula bahwa mereka merajamnya denganbatu. Sementara itu ia berkata, “Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Kemudian mereka membunuhnya dan membunuh tiga utusan itu. Diceritakan bahwa ketika ingin membunuh Habib an-Najjar, Allah mengangkatnya ke langit kemudian ke surga. Adapun penduduk kota itu, telah datang kepada mereka Jibril dengan jeritan suatu yang menghancurkan mereka semua.
Inilah perincian kisah menurut riwayat israiliyat. Tidak ada satupun yang dinukil dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, kisah ini merupakan perkataan penuh prasangka, kebohongan, dan dugaan saja. Sedangkan seluruh kisah orang-orang terdahulu itu harus ada hadits shahih dari Rasulullah saw.
4.      Kisah Luqman
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Luqman ayat: 12-19
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Artinya: Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, ad-Durrul Mantsur, menceritakan bahwa luqman adalah adalah seorang hamba sahaya berkebangsaan Habsyi Najr. Ia bekerja sebagai tukang kayu, bertubuh kecil, berhidung mancung, pandai bersilat lidah, berkaki lebar, dan Allah memberikan hikmah kepadanya, tetapi bukan kenabian.
Ketika Allah swt menyodorkan pilihan kepada luqman antara hikmah dan kenabian, ia memilih hikmah daripada kenabian. Kemudian Jibril datang kepadanya ketika ia sedang tidur lalu menyerahkan kepadanya hikmah dan akhirnya ia dapat berkata-kata dengan hikmah itu. Sewaktu ia ditanya kenapa memilih hikmah daripada kenabian, padahal Tuhannya memberikan pilihan kepadanya, ia menjawab, “seandainya diberikan kepadaku kewajiban dan perintah untuk memikul tugas kenabian, pasti tidak ada sesuatu yang kuharapkan darinya melainkan kesuksesan dan aku pasti akan berusaha untuk dapat menunaikannya dengan baik. Akan tetapi, Allah memberikan kepadaku pilihan maka aku takut menjadi orang yang paling lemah dalam menunaikan kenabian itu, sehingga hikmah lebih kusenangi dari kenabian.
Adapun sikap kita terhadap riwayat di atas adalah tawaquf, menangguhkannya, tidak menceritakan dan menghubungkannya pada luqman, juga tidak mengakui hal tersebut benar-benar padanya karena semua itu tidak datang dari hadits-hadits yang benar shahih dari Rasulullah saw. Kita tidak menolak mentah-mentah cerita tersebut. Tetapi kita juga tidak membenarkannya, karena ada kemungkinan cerita itu memang benar-benar terjadi.
Inilah sikap yang paling tepat, tawaquf, tidak meniadakannya dan tidak menetapkannya, tidak mengakuinya, dan tidak menolaknya, terutama hal-hal yang tidak ada faedah keilmuannya dan tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat ataupun amalan yang diterima oleh Allah swt.
5.      Keberhasilan Syaitan Dalam Menyesatkan Anak Adam
Kisah ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat: 27-32
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (24) قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (25) قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (26) وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آَدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27) لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ (28) إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ (29) فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ (30) فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31) مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا (32) بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim."
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Diceritakan ketika Allah menurunkan Adam dan Isterinya, Hawa, ke bumi, dianugrahkan kepada keduanya anak yang banyak. Pada setiap kehamilan, hawa mengandung anak kembar laki-laki dan perempuan dan dilahirkan dari keduanya empat puluh anak, 20 laki-laki dan 20 perempuan.
Adam dianugrahi anak setelah diturunkan ke bumi anak laki-laki dan perempuan dalam satu kelahiran, dinamakan yang laki-laki Qabil dan yang perempuan diberi nama Iqlima. Lalu setelah dua tahun dia dianugrahi kembali anak laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki diberi nama Habil dan yang perempuan Labuda.
Adam memerintahkan agar Qabil menikah dengan Labuda. Akan tetapi, Qabil menolak. Ia hanya mau menikah dengan saudarinya, Iqlima, karena parasnya lebih cantik daripada Labuda. Karena adanya perselisihan, Adam berkata kepada keduanya, “berkurbanlah! Siapa diantara kamu yang diterima kurbannya maka dialah yang berhak atas Iqlima”.
Qabil adalah seorang petani yang mempunyai sebidang sawah, sedangkan Habil adalah seorang gembala yang mempunyai hewan ternak. Habil memilih domba yang gemuk, yang terbaik diantara hewan ternaknya sedangkan Qabil memilih seikat padi yang bagus sebagai kurban. Lalu turunlah api memakan kurban Habil dan membiarkan kurban Qabil. Domba Habil hidup senang di surga sampai digantikan oleh ismail as. Qabil sangat marah karena Allah menolak kurbannya. Ia merasa iri serta dengki kepada saudaranya lalu berkata, “sungguh aku akan membunuhmu.” Habil berkata kepadanya, “mengapa?” Qabil berkata, “Karena Alllah menerima kurbanmu dan tidak menerima kurbanku, lalu kau menikahi saudariku yang cantik dan aku menikahi saudarimu yang jelek.”
Lalu Qabil datang untuk membunuh Habil, tetapi habil menghindar darinya dan lari ke puncak gunung. Pada suatu hari, Qabil mendatanginya ketika ia sedang tidur, lalu diangkatnya batu besar untuk membunuhnya, padahal ia tidak mengetahui bagaimana cara membunuhnya. Setanpun mencontohkan kepadanya dengan mengambil burung dihadapannya lalu ia letakkan kepalanya di atas batu kemudian ia pecahkan kepalanya dengan batu yang lain.
Ketika Habil terbunuh, bumi berguncang selama tujuh hari. Makanan berubah rasa, buah-buahan menjadi masam, air menjadi pahit, tanahpun menjadi debu. Pada waktu itu Adam yang sedang berada di Mekah merasa aneh atas apa yang terjadi. Ketika ia pergi ke India untuk mencari kabar berita, tahulah ia bahwa Qabil telah membunuh Habil.
Qabil tidak tahu apa yang akan ia perbuat dengan mayat saudaranya, lalu Allah memanggilnya, “Qabil, di mana saudaramu Habil?” Qabil berkata, “saya tidak tahu. Saya bukan penjaganya.” Allah berkata kepadanya, “sesungguhnya darah saudaramu telah memanggilku dari dalam tanah, mengapa kau bunuh saudaramu?” Qabil pun menjawab, “maka dimanakah darahnya jika aku telah membunuhnya?” pada waktu itu, tanah telah meminum (menyerap darahnya, maka Allah mengharamkan kepada bumi pada hari itu untuk meminum darah setelah itu selamanya).
Qabil tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap jasad saudaranya, maka ia memanggulnya, selama satu tahun penuh sampai mengeluarkan bau busuk. Hewan-hewan buas dan burung-burung pun menanti dimana ia akan membuangnya, agar mereka dapat memakannya. Lalu Allah mengutus dua burung gagak yang saling membunuh. Salah satunya berhasil membunuh yang lain. Kemudian gagak yang membunuh menggali lubang di tanah dengan paruh dan kakinya kemudian ia letakkan mayat gagak yang telah mati di dalamnya, lalu ia timbun kembali. Qabil memperhatikannya, lalu bangkit dan menggali lubang untuk saudaranya lalu menguburnya.
Setelah kematian Habil, Adam hidup dalam kesedihan dan tidak tertawa selama 100 tahun, lalu malaikat datang kepadanya dan berkata, “Allah memberikan kepadamu umur yang panjang dan mengangkat derajatmu serta menyampaikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak laki-laki, maka Adampun tersenyum.
Sedangkan Qabil, dikatakan kepadanya, “Pergilah, “maka ia pun pergi dalam keadaan terusir dan ketakutan, lalu ia pegang tangan saudarinya, Iqlima, dan pergi dengannya ke Aden Yaman. Kemudian syetan mendatanginya dan berkata kepadanya, “sesungguhnya api memakan kurban saudaramu karena saudaramu karena dia menghambakan diri kepada api dan menyembahnya,” maka Qabil membangun rumah untuk api dan menyembahnya.
Qabil mempunyai seorang anak yang buta. Suatu ketika, ia sedang bersama anaknya. Ia berkata kepadanya, “ini bapakmu, Qabil, lalu ia melemparinya dengan apa yang ada ditangannya dan membunuhnya.”
Allah mengikat tangan Qabil, sampai kakinya dan menghadapkannya ke matahari, berputar sebagaimana berputarnya matahari, agar merasakan panasnya. Di musim panas, ia dipagari dan dimusim dingin, ia dipagari salju sampai hari kiamat. Israiliyat dalam kisah ini sebagaimana yang dikatakan Sayyid Quthb bahwa, Al-Qur’an tidak menyebutkan waktu, tempat, maupun nama-nama kisah. Meskipun ada sebagian hadits yang mengemukakan tentang Qabil dan Habil bahwa mereka adalah anak Adam, dan perincian tentang masalah diantara mereka serta perselisihan di antara mereka, namun tidak memuat nama, waktu, dan tempat seperti yang disebutkan dalam kisah tersebut.

E.     BAHAYA ISRAILIYAT DALAM DUNIA ISLAM
1.      Kehadiran israiliyat ditengah kaum muslimin dapat merusak aqidahnya karena di dalam penjelasannya, israiliyat mengandung unsur penyerupaan dan pengkonkritan tentang sifat dan keberadaan Sang Kholiq yaitu Allah SWT. serta mensifati dengan sifat-sifat yang tidak sesuai dengan kesempurnaanNya.
2.      Islam seolah-olah agama yang penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak bersumber sehingga menyesatkan masyarakat.
3.      Menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada sebagian ulama’, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak jarang cerita israilliyat yang mungkar disandarkan kepada sebagian ulama’ salaf  sehingga mengundang  ketidakpercayaan masyarakat terhadap mereka. Karena mereka dipandang sebagai sosok yang keji dan pembohong.
4.      Melalaikan manusia dalam memikirkan maksud dan tujuan Al Qur’an yang sebenarnya. Maksudnya adalah manusia justru membahas hal-hal yang tidak bermanfa’at menurut Al Qur’an, misalnya membicarakan diciptakan dari apakah tongkat Nabi Musa ? mengenai ukuran kapal Nabi Nuh dan lain sebagainya. Al Qur’an memang membicarakannya akan tetapi tidak menjelaskannya secara rinci karena hal demikian dipandang tidak bermanfa’at.

F.     ISRAILIYAT ERA KEKINIAN
Isrâ’îliyât pada Era Kekinian Isrâ’îliyât, sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini, dipahami sebagai pengaruh-pengaruh budaya Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam wilayah penafsiran al-Qur’an. Batasan pengertian ini menyiratkan bahwa yang dimaksud hanyalah terbatas bagi mereka yang hidup pada masa Rasulullah, sababat, generasi tabi’in, serta tabi’ al-tabi’in, di mana berita-berita yang dibawakannya berhasil menyusup ke dalam wilayah penafsiran al-Qur’an. Batasan tersebut bila dilihat dengan “kacamata” yang lebih luas tampaknya tidak hanya sebatas yang dapat direkam pada masa itu, tetapi termasuk juga ke dalam kelompok isrâ’îliyât adalah informasi-informasi dan unsur-unsur, yang berhasil disusupkan selain dari kedua agama tersebut, seperti Hindu, Budha, Konghucu, bahkan Shinto. Hanya saja yang lebih dominan hingga sekarang dan lebih banyak bersuara serta menyoroti Islam dari kacamata mereka adalah kedua agama pertama di atas, khususnya Yahudi. Oleh karena itu, Islam tidak hanya berhadapan dengan isrâ’îliyyât yang sudah mapan termuat dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, tetapi juga dengan budaya-budaya dan pemikiran-pemikiran mereka yang hidup di zaman kemajuan sekarang ini. Dengan demikian, para orientalis Barat baik yang pro maupun kontra terhadap Islam adalah termasuk dalam kategori isrâ’îliyât. Selama ini, sumber-sumber isrâ’îliyât di Barat, banyak yang berbicara tentang Islam dari berbagai aspeknya, mulai dari al-Qur’an, hadits, hukum, dan lain-lain. Begitu pula mereka banyak menyoroti tokoh-tokoh Islam, mulai dari pribadi Rasulullah, sahabat maupun ulama-ulama masa awal termasuk Imam Mujtahid yang empat, dengan berbagai pemikirannya. Pandangan-pandangan mereka tentang Islam, terutama dalam bentuk kritikan-kritikan banyak mendapat tanggapan dari sarjana-sarjana muslim, di antaranya adalah Fazlur Rahman dan lain-lain. Namun tidak sedikit dari sarjana-sarjana muslim dalam hal-hal tertentu dipengaruhi oleh pemikiran-pemkiran isrâ’îliyât era kekinian. Termasuk di antara tokoh Islam yang dipengaruhi pemikirannya oleh isrâ’îliyât Barat abad modern adalah Muhammad ‘Abduh. Keterpengaruhannya ini di antaranya terlihat ketika ia menafsirkan kata ûlî al-amri dalam surat al-Nisâ (4):59. Khusus penafsirannya mengenai kata ûlî al-amr Muhammad ‘Abduh mengemukakan berbagai pendapat di kalangan para ulama, mulai dari pendapat sahabat, tabi’in, dan generasi ulama setelahnya, hingga ia berbicara tentang Trias Politika gagasan J. J. Rousseau, seorang pemikir Perancis abad modern, yang mengindikasikan sistem negara demokrasi, dengan adanya tiga lembaga yang saling bekerjasama dalam suatu pemerintahan negara, yaitu: legislatif, ekskutif, dan dilengkapi dengan yudikatif. Tampaknya, dari berbagai pendapat di atas mengenai maksud dari kata ûlî al-amri ‘Abduh cenderung kepada konsep pemikiran J. J. Rousseau. Jadi, yang dimaksud dengan ûlî al-amri menurutnya adalah meliputi tiga komponen dan ini harus diikuti oleh segenap komponen bangsa, yaitu; Lembaga Legislatif (alHay’ah al-Tasyrî’iyyah), Lembaga Eksekutif (al-Hay’ah alTanfîdziyyah), dan Lembaga Pengawasan (Jamâ’ah alMuhakkimîn).
Dalam hal yang sama tampaknya mengikuti jejak gurunya, Muhammad ‘Abduh, yang dipengaruhi oleh konsep Trias Politika J. J. Rousseau di atas. Pada era kekinian tampak jelas bahwa pemikiran isrâ’îliyât era modern dari Barat sudah merambah ke pemikiran dunia Islam masa kini, sehingga tidak sedikit di antara para sarjana muslim yang terpengaruh dan terbawa arus olehnya. Hal ini sebenarnya tidak perlu menimbulkan kekhawatiran berlebihan selama permikiran mereka itu dapat “difilter” dengan baik, dan menjadi penggugah untuk mendalami serta menyingkap rahasia di balik ajaran yang dibawakan al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa isrâ’îliyât baik yang sudah mapan termuat dalam kitab-kitab tafsir lama maupun yang tampil dalam bentuk “kemasan baru” yang muncul di era sekarang, dan mungkin hingga masa-masa berikutnya, dianggap sebagai bagian dari metode berpikir ilmiah dalam kajian keislaman. Namun demikian, isrâ’îliyât abad mutakhir ini yang dikatakan merupakan kelanjutan isrâ’îliyât yang sudah mapan dalam tafsir-tafsir terdahulu, walaupun dalam bentuk dan motivasi yang mungkin berbeda harus dicermati, diseleksi dan dikritisi agar tidak berdampak negatif terhadap kemurnian ajaran Islam. Dalam hal ini yang terpenting menjadi catatan bagi kaum muslimin adalah tidak perlu tergesa-gesa bersikap apriori secara berlebihan, sebagaimana juga tidak perlu tergesa-gesa menerima isrâ’îliyât itu sebelum mencermati secara proporsional “untung rugi” keberadaannya bagi Islam dan komunitas kaum muslimin.


BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Metode yang dipakai al-Qur’an dalam menceritakan umat terdahulu memang tidak bersifat rinci dan detail. Al-Qur’an tidak mengulas secara runtut nama-nama tokoh, tempat dan waktu kejadian atau bagian lain dari cerita tersebut. Karena al-Qur’an memang bukan buku cerita yang memaparkan setiap episodenya dengan rinci. Akan tetapi tujuan al-Qur’an mengangkat sebuah kisah lebih kepada pelajaran (ibrah) dan nilai-nilai yang dapat terwujud dengan pemaparan tersebut.
Keberadaan israiliyat yang sudah terlanjur masuk ke dalam sebagian kitab-kitab tafsir dan  turut memberikan penjelasan terhadap suatu kisah yang diangkat oleh al-Qur’an memang menjadi suatu hal yang dilematis. Terlepas dari kebolehan mengambil riwayat israiliyat sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya masih ada pertanyaan yang tertinggal; bagaimana mungkin ayat- ayat yang datangnya dari Yang Maha Benar, dijelaskan dan dirinci oleh sesuatu yang tidak jelas kebenarannya.  Dengan kata lain, mengutip israiliyat di samping ayat-ayat Allah SWT., tidakkah itu berarti memberi kesan bahwa berita yang tidak jelas kebenaran dan dustanya itu dapat menjadi penjelas makna firman Allah SWT. dan menjadi pemerinci apa yang disebut secara global di dalamnya. Di seluruh dunia Islam, cerita-cerita israiliyat untuk saat ini telah tersebar luas melalui media tulisan yang terdapat di kitab-kitab tafsir atau pada kitab-kitab lainnya, demikian juga cerita-cerita ini telah beralih dari mulut ke mulut, melalui khutbah, ceramah, pengajaran di madrasah dan lain sebagainya. Disampaikan oleh berbagai kalangan dari umat ini, mulai orang awam sampai kepada orang terpelajar. Tentu menjadi tidak mudah untuk membersihkan israiliyat yang sudah tersebar di masyarakat.  Sikap bijaksana yang seharusnya diambil oleh muslim yang mempelajari al-Qur’an ketika berhadapan dengan ayat-ayat  yang mubham (tidak jelas), adalah mencari penjelasannya pada ayat-ayat lainnya, apabila tidak dijumpai penjelasannya dalam a-lQur’an, maka hendaklah ia mencari hadits-hadits shahih, dan jika pada haditspun tidak  dijumpai, maka biarkanlah ayat tersebut dalam kemubhamannya. Namun pada kenyataannya sering sekali ditemukan ketidakpuasan dengan pola seperti itu dan tergoda untuk mencari dan memberi interpretasi sendiri. Di satu sisi, sikap seperti itu memang tidak salah, sebab para ulama telah membuka peluang tafsir bi al-ra’yi wa al-ijtihad dengan berbagai persyaratan tentunya. Namun di sisi lain,  jika sang ‘pencari’ ini kurang taqwanya kepada Allah SWT., bukan tidak mungkin ia akan berkata atas kekuasaan Allah SWT. tanpa didasari ilmu dan dapat keluar dari pemahaman yang Qur’ani.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Adz zahabi, husain muhammad, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Menafsirkan Al Qur’an, Jakarta. PT Raja Grafindo Persada 1996.
2.      Adz zahabi, Israilliyat dalam Tafsir Hadits, Bogor. PT Pustaka Litera Antar Nusa 1993.
3.      Zamakhsari, Al Kasysyaf, Beirut : DKI.
4.      Nur Alfiah, Israilliyat dalam Tafsir Ath Thabari dan Ibnu Katsir, Jakarta 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Page